NIKMATNYA SEDEQAH 1

NIKMATNYA SEDEQAH 2

NIKMAT NYA SEDEQAH 3

NIKMATNYA SEDEQAH 4

NIKMATNYA SEDEQAH 5

Yusuf Manshur

Biarkan Tulang Rusuk Berbagi

10 Aug 2009 ·

Biarkan Tulang Rusuk Berbagi
Novel Penyingkap Poligami
Karya:
Teguh Hudaya
Bagian 1
Biarkan Tulang Rusuk Berbagi
"Tolol.. tolol...!"
"Bodoh.. Bodoh...!"
"Sudahlah! kau tak perlu melanjutkan kuliah!" "Bukankah ayah sudah bilang, kau tak mampu berbuat apa-apa. Takdir kita hidup melarat. Paham??"

Kemarahan ayah menjalar membayangiku, merongrongiku, menyesakiku. Membuka tirai masa lalu ayah bersama umi dan istri barunya. Perdebatan adalah hidangan panas yang harus kumakan mentah tatkala bertemu mereka. Ayah, umi, Syam dan aku. Padahal bagiku, sekarang masa transisi, masanya ketidakpastian, masa terberat untuk menembus potensi diri. Aku ingin kuliah lagi.

Sementara mataku masih bermain memandangi belasan petani beruntun rapi menyusuri jejaring pematang. Kuperhatikan, riuh ramai-ramai menggendong bakul. Seoalah gerembulan kabut yang sesaak ini sirna tersibak. Semak-semak menelungkup ketakutan. Alam tersenyum, berkah-berkah sudah menunggu untuk dijemput. Sementara jauh di depan sana, kulihat matahari sudah menyembul deras.

"Sekarang kau sudah menjadi sarjana, sekarang kau nikah saja dengan si Arini anak pak Marta, cukup hidup seperti itu. Penggilingan padi tidak ada yang ngurus. Masa paceklik sudah punah..."

"Lalu Kau jangan sok pahlawan ingin berlaga bercita-cita orang besar. Jangan lompat dalam melangkah. Lima bulan ini ijazahmu nganggur tidak terpakai. Perabotan rumah habis dimakan kau, gara-gara dijual demi keperluan kau mencari kerja! Hasilnya? nihil."

Di atas pematang ini kuelus-elus batang cangkul sambil mengenangi kemarahan ayah. Menit-menit lalu bekerja menggemburkan tanah menjadi empuk, mengingat ayah seolah lemas terbalut lumpur. Kulihat di ujung sana air terus mengalir memenuhi kubangan. Kini kuambil lagi rokok dalam saku. Kunyalakan dan kusedot perlahan-lahan.

"Sudahlah, taat pada ayah. Dari dulu ayah sudah bilang, ayah hanya mampu menyekolahkanmu sampai SMU. Kamu merengek ingin kuliah. ayah kuliahkan, akhirnya?”

"Dan, sekarang kau mau kuliah lagi??" malam itu kudengar ayah tambah geram memuntahkan amarahnya. Matanya menyala merah bagai singa di tengah malam. Aku di depannya diam tak berkutik. Waktu itu di luar hening. Sementara hujan mengguyur deras di tengah dekapan malam.

"Besok, kau bantu ayah di sawah. Beberapa bagian dekat pohon kelapa belum digarap. Subuh-subuh sepulang dari Langggar langsung pergi kebendungan utara. Salurkan air ke kampung kita. Satu lagi! Keluarga pak Marta jangan kau bikin malu!"

Pak Marta? Hhh... malas mengenang orang itu. Pejabat pemerintah kota yang ingin mulung mantu semenjak SMU. Bah! terlalu dini dua puluh dua tahun untuk menikah, aku ingin kuliah lagi, tidak mengharapkan seorang Arini. Aku menghempas membuang sesak

Diam-diam lamunanku membuyar seiring deras pancuran menghambur keras menimpahi genangan air. Jauh di tengah sana kulihat ada dua ekor kerbau berjalan lambat, berkeliling menarik garpu besar mengolah tanah. Aku isap lagi rokok. Kuhembuskan menantang metari, mentari yang menyelusup hebat menyinari tubuh. Tanah pun mulai agak kering.

Dasar orang tua, pikirannya selalu kolot. Membanding-bandingkan, menggunjing kelemahan, lalu mengagungkan anak yang lain. Menjadi supir truk selalu dijadikan patokan keberhasilan anak. Tapi, prestasi yang diraih di masyarakat ini seperti apa? Seperti apa dulu? Ingin terus menjadi orang tertindas? dadaku kontan memanas, melecut jiwaku yang berontak

Kepulan rokok semakin gila memedar ke udara. Menyembul menantang bola raksasa. Asap pun menghilang, nyala merahnya sirna tersibak mentari yang lebih kuat.

Hanya ada dua alternatif. Aku tetap diam, menikahi Arini dan menjadi boss penggilingan, dengan demikian aku mengikuti alur masyarakat kampung yang stagnan dalam memandang hidup. Ilmu yang kucari selama empat tahun sia-sia tak terarahkan. Juga tidak percaya diri untuk bersaing dalam tatanan global.

Atau aku harus menghindar? aku harus sekolah lagi dan percaya diri untuk mampu bersaing di tatanan global. Aku masih muda. Aku harus bisa merubah masyarakat.

Sentilan-sentilan pedas tetangga dan saudara tak perlu kugubris! Aku harus bebas. Harus bisa memilih cepat dalam mengambil sikap. Cita-citaku harus terwujud. Bukankah manusia memiliki kebebasan untuk bersikap, Hendri? Bukankah manusia memiliki kebebasan untuk memilih heh?! Dan, bukankah manusia memiliki kebebasan dalam menemukan makna hidupnya? Aku tidak boleh terpasung! tekanan ini tak boleh menenggelamkanku untuk tertidur. Aku harus segera keluar! Kuliah lagi!

Sedang di tepi pematang, kulihat seorang pemuda berteriak lantang melambaikan tangan berulangkali. Yah, Syam. Kakakku yang hari ini menemaniku mencangkul sawah. Aku menyeringai ke arahnya, aku terlampau nikmat merenungi kemarahan ayah kemarin sore.

Aku memandanginya dari jauh.

"Ya, Sori... sori... !"kuteriaki lelaki itu sambil kuangkat tangan yang masih menjepit sebatang rokok.

Kujangkau cangkul, lalu aku bangkit menghampirinya. Sarjana fakultas syari'ah mencangkul? Aku tertawa sendiri. Proses! batinku mantap. Bersambung



Baca juga yang ini....



Widget by autolovers | Kodokpinter

0 comments:

KCB 2

Bukan Superstar

http://detikmasisir.blogspot.com/ Adalah wahana informasi mahsiswa yang berada di mesir , untuk saling sharing ide, gagasan dan menampilkan ajang kegiatan event masisir. untuk mengirim tulisan berupa artikel, cerpen , berita, silahkan kirim ke email : detikmasisir@yahoo.com dan untuk memasang iklan anda di blog kami silahkan kontak 0113448053.kunjungi kami tiap hari-karena kami selalu up date. thank you............. .................................................

Archives

Followers