Tulisan ini mungkin hanya sebuah ungkapan hati penyesalan. Atau coretan pengalaman yang terlalu subyektif. Mungkin, seharusnya tulisan ini menjadi nasehat untuk diri saya di masa lalu, namun siapakah yang bisa merubah masa lalu. Akhirnya saya hanya bisa berharap, siapa tahu ada jiwa yang mau mengambil pelajaran atau menagkap isyarat hati yang kini selalu saya sesali.
Kepada para mahasiswa Al-Azhar yang saya banggakan, (seperti itulah saya melihat diri saya dahulu). Kalian adalah utusan dari dan untuk negri ini, kalian mewakili dua ratus juta jiwa yang disebut bangsa Indonesia. Bangsa yang kini sedang tergopoh-gopoh di tepian sejarah. Kalian terpilih untuk sebuah tugas mulia, mempelajari ajaran Rasulullah SAW untuk kemudian membumikannya. Namun jalan yang kalian tempuh tidaklah mudah, karena tantangan kalian adalah menaklukkan pesona budaya negri fir’aun.
Ooh…mesir, alangkah indah pesonamu. Sebuah negri yang kita tidak perlu bersusah payah. Jika kita seorang thalib, kita bisa dengan mudah mendapatkan beasiswa. Tanpa syarat tanpa pembatasan, tiada tugas apalagi beban, yang perlu kita lakukan hanyalah mengantri dan tinggal sabar menunggu pengumuman. Menunggu, itulah pekerjaan yang dulu saya sering lakukan. Menunggu bis di halte, menunggu antrian visa, menunggu jadwal ujian, menunggu natijah akhir tahun, menunggu antrian tajdid minhah, menunggu dan menunggu. Tak terasa, hidup telah berlalu.
Saya tidak tahu, apakah waktu disana berjalan cepat atau kehidupan yang berjalan dengan lambat. Pernahkah kau hitung jarak dari jum’at ke jum’at, bulan ke bulan, atau ramadan ke ramadan. Lihatlah sekelilingmu !, satu tahun kita hidup di tempat yang sama adakah perubahan. Tanyalah seniormu, berapa tahun ia hidup di mesir?. 10 tahun atau 17 tahun adalah waktu yang sangat biasa, dan kau mungkin baru 3 atau 4 tahun menikmati keindahan mesir. Dan selama itu, tidak juga ada perubahan yang berarti disekelilingmu.
Sepulangnya saya dari mesir, saya merasa telah banyak membawa pelajaran. Bertumpuk-tumpuk muqoror yang pernah saya baca, masa iya tidak bermanfaat pikirku. Terbelalak mata saya saat melihat indonesia, seakan baru terbangun dari buaian mimpi indah. Inilah negri yang penuh dengan gambaran suram, negri yang dulu saya puji-puji dari kejauhan. Bangsa ini tidak butuhkan tumpukan muqoror, tapi manusia pembawa nilai perubahan itu yang selalu dinantikan. Saya melihat sekeliling, para mahasiswa teknik penghafal Al-Qur’an, para santri yang fasih berbahasa arab. Anak-anak muda yang cerdas, terampil dan cekatan. Mereka seakan mencuri peran yang seharusnya saya mainkan, hingga tiada tersisa kecuali peran figuran. Tiada tersisa kecuali penyesalan. Sesal atas waktu yang tersia-siakan, atas pagi saat terlelap, atas siang saat bersantai atau organisasi yang tak jelas pangkal ujungnya, dan atas malam saat mengobrol atau terduduk dihadapan kotak ajaib ”Komputer”. Apa gunanya menjadi lulusan Al-Azhar jika hanya bisa sembunyi dibalik cover ”Ayat-Ayat Cinta”.
Kemanakah mereka para lulusan Al-Azhar?, menjadi dosen di PTAIN di pelosok-pelosok daerah, menjadi guru di pesantren atau SDIT. Beruntung bagi para keturunan kiyai yang diwariskan untuk mengurus pesantren, atau kerabat pejabat yang mendapat jalan pintas menuju gedung-gedung ber-AC.
Hidup disini memang bergerak sangat cepat, siapa tak terampil dan cekatan akan segera tersingkirkan. Bayangkan untuk kuliah gratis saja terbatas bagi segelintir orang, belum lagi dengan persyaratan ketat. Jika ingin mendapat beasiswa sebesar 500 ribu perbulan dibutuhkan fit and proper test, lebih enak minhah bait zakat hanya perlu jayyid dan kesabaran saja.
Kemudahan hidup, mungkin itu yang membuat kita selalu kalah. Kita tidak biasa bersaing, tak pernah berlomba, tak tahu bagaimana caranya menjadi yang terbaik. Tugas kita hanya belajar, selesai S1 menikah, setelah itu mengurus keluarga. Hidup kita terlalu simple, tak ada persoalan masyarakat apalagi bangsa yang harus kita selesaikan. Kita hidup dalam lingkup MASISIR yang selama puluhan tahun masih berkutat dalam isu yang sama. Isu kelompok, isu keterpurukan administrasi al-azhar, isu prestasi, tak pernah berubah tak pernah berganti.
Jika saja aku bisa menasehati diriku di masa lalu, maka akan kuwajibkan ia untuk banyak mengisi kekosongan. Ia harus membaca buku-buku tazkiyatun-nafs untuk diri dan masyarakatnya. Ia harus mendalami permasalahan-permasalahan fikih kontemporer. Ia juga harus banyak mendengar ceramah, kajian, khutbah dari masyayikh dan ulama islam di mesir, (sebaiknya hanya untuk hal ini kita beli komputer) . Organisasi yang sekedar kumpul-kumpul seharusnya sedari dulu saya tinggalkan, namun saya akan ikut organisasi yang melatih skill; menulis di media, mengkaji permasalahan, membina diri dan kepribadian.
Tulisan ini tentu sangat subyektif, maka tiada maksud untuk menyinggung siapapun. Oleh karena itu mohon maaf jika ada yang tidak berkenan. Tulisan ini hanya sekedar ingin berbagi, tentang sepenggal kisah yang kini saya sesali. Saya yakin ada banyak calon alumni Al-Azhar yang tak ingin umur produktifnya sia-sia tanpa pernah menyumbangkan apapun pada bangsa. Saya yakin ada banyak mahasiswa Al-Azhar yang sadar akan kapasitas dirinya, sehingga bekerja keras untuk mengembleng diri. Mereka adalah anak-anak Al-Azhar yang akan menghiasi alam demokrasi, yang kini semakin menggila. Wallahu a’lam.
Oleh : Ibnu Syamsi
NIKMATNYA SEDEQAH 1
NIKMATNYA SEDEQAH 2
NIKMAT NYA SEDEQAH 3
NIKMATNYA SEDEQAH 4
NIKMATNYA SEDEQAH 5
Yusuf Manshur
Alumni Al-Azhar : Andai aku bisa kembali ke masa lalu
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
KCB 2
Bukan Superstar
anda pengunjung ke
Archives
!-end>!-local>
Followers
!-end>!-local>
1 comments:
Salamualaikum
Jazakallahu khairan ibnu syams...
Keren habis, touching banget..
Semoga kita bisa sama2 memperbaiki diri. Di tunggu nih edisi selanjutnya.
O ya salam kenal aja..
Jangan lupa mampir yah..
Post a Comment